Jumat, 19 Mei 2017

PANJI PANJI DAKWAH ISLAMIYAH



PANJI-PANJI  DA’WAH  ISLAMIYAH


I. PENDAHULUAN
               
                Benda-benda peninggalan kuno suatu warisan leluhur yang diketahui atau diperkirakan pernah dimanfaatkan dalam suatu kurun waktu tertentu, tak dapat tidak tentulah mengandung nilai-nilai historis atau paling sedikit memiliki aspek-aspek kultural.
                Terhadap benda-benda seperti ini kadang-kadang menimbulkan side effect (efek sampingan) yang kurang wajar oleh karana adanya sikap masyarakat awam yang kemudian secara tidak sadar menganggapnya sebagai benda-benda keramat atau bahkan mungkin lebih dari pada itu.
                Sikap atau anggapan masyarakat yang seperti itu biasanya secara beranting menimbulkan tarikan perhatian dan lebih jauh berkembang dengan lahirnya semacam legenda yang terjalin dengan baik dan tepat.
                Jalinan cerita ini kadang-kadang mengarah  pendekatannya kepada sifat rational apabila dikaitkan dengan kenyataan-kenyataan yang ada dan kadang-kadang pula mungkin sebaliknya.
                Dalam hubungannya dengan benda-benda peninggalan lama yang mengandung nilai-nilai historis ini atau setidak-tidaknya menyentuh aspek budaya, ada dua lembar panji-panji sebagai benda peninggalan kuno yang sampai kini masih tersimpan dengan baik dikampung Jatuh. Kampung Jatuh (6 Km dari kota Barabai) termasuk dalam wilayah Kecamatan Pandawan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
                Oleh masyarakat dalam wilayah Kecamatan Pandawan terhadap benda peninggalan lama ini dinamakan mereka dengan “Panji-panji”, suatu bendera berbentuk segi tiga yang lancip dan runcing keujung. Panji-panji ini hingga sekarang tetap tersimpan dirumah zuriat almarhum Haji Muhammad Yusuf seorang ulama tertua didaerah ini yang telah meninggal pada tahun 1938.
                Perhatian masyarakat terhadap Panji-panji ini demikian besar, hal itu dibuktikan dengan adanya kunjungan-kunjungan masyarakat setempat dan juga oleh masyarakat luar daerah untuk menyaksikannya. Pada umumnya kunjungan tersebut hanyalah bersifat ingin melihat, sekaligus dalam kesempatan acara kunjungan silaturrahmi pada hari-hari raya Aidil Fitri atau Aidil Adha. Namun demikian kunjungan dari Pejabat-pejabat tertentu juga sering datang ketempat ini. Begitu pula telah adanya beberapa kali team penelitian dari Jakarta yang sengaja datang untuk meneliti Panji-panji tersebut.


II. PANJI-PANJI DA’WAH ISLAMIYAH

                Panji-panji pada umumnya berupa bendera dalam bebagai bentuk, segi empat, segi tiga, atau kadang-kadang dengan dasar segi empat tetapi diberi rencong berganda diujungnya. Begitu pula tentang penempatan komposisi warna, gambar dan tulisan merupakan kebebasan dalam pembikinan suatu Panji-panji menurut penciptanya.
                Namun Panji-panji yang ada tersimpan di Kampung Jatuh ini jelas merupakan suatu aspek dari pada Da’wah Islamiyah, sehingga untuk itu dapat dinamakan sebagai Panji-panji Da’wah Islamiyah.
                Sebab yang tergambar atau tertulis dalam Panji-panji itu terlihat jelas adanya fokus dari makna yang terkandung didalamnya, yang terarah kepada “Ke-Esaan Allah”, dijalin dengan dengan komposisi khot yang menarik.
                Bebicara tentang Da’wah Islamiyah maka hal itu adalah merupakan suatu kewajiban bagi semua muslim untuk menyeru kepada jalan kebajikan menurut kaidah agama Islam sebagaimana yang difirmankan oleh Allah S.W.T. dalam kitab suci Al-Qur’an, surat Ali Imran 104:

                                  Al-ajat

                Wal takum minkum ummatuy-yad’uuna ilai khairiwa ya’muruuna bil ma’ruufi wa yanhauna’anil munkar, wa ulaa-ika humul muflihun.
Artinya :
                “Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat penyebar da’wah kepada kebajikan, menyuruh berbuat baikdan melarang dari pada kejahatandan mereka inilah orang-orang yang mendapat kemenangan”.

                Malaksanakan Da’wah Islamiyah dalam arti yang luas tentulah terhimpun beberapa segi yang bisa ditempuh baik dalam bentuk panyampaian yang berwujud pembicaraan, tulisan atau perbuatan lain, teguran, teladan dan sebagainya.
                Hal itu antara lain dapat dilihat sebagai berikut:

1.        Da’wah Islamiyah dalam bentuk pembicaraan dalam melaksanakan kegiatan seperti ceramah, penyuluhan, penerangan dan sebagainya.

2.        Da’wah Islamiyah dalam bentuk tulisan dapat dikemukakan dalam bentuk buku, majalah, brosur, surat kabar, risalah, dan sebagainya.

3.        Da’wah Islamiyah dalam bentuk suatu perbuatan misalnya mendirikan mesjid, langgar, sekolah-sekolah pendidikan Islam, pondok pesantren rumah anak yatim piatu, dan sebagainya.

4.        Da’wah Islamiah dalam bentuk teguran misalnya menberikan teguran terhadap suatu pihak yang akan berbuat munkar dan sebagainya.

Dalam kaitannya dengan Panji-panji tersebut diatas maka adanya Panji-panji ini merupakan suatu aspek Da’wah Islamiyah yang dapat dikatagorekan dalam bentuk memperbuat sesuatu. Dengan Panji-panji yang merupakan suatu benda yang dapat diwariskan dari suatu kurun waktu tertentu kepada kurun waktu berikutnya, memberikan pengaruh yang positif terhadap kegitan Da’wah yang terkandung didalamnya.
Apalagi apabila dikaji dalam makna yang terkandung didalam ayat-ayat yang tertulis dlam Panji-panji warisan leluhur itu.

III. BENTUK DAN ISI PANJI-PANJI

                Panji-panji yang sudah tua usianya ini diperkirakan sudah berusia 300 tahun. Kain dengan warna dasar (diperkirakan) kuning dan tulisan hitam itu sudah terlampau kabur, baik warna maupun tulisannya. Sementara itu keutuhan bahan kain itu juga sudah berangsur lapuk karena melampaui waktu yang sangat lama.
                Dua lembar Panji-panji ini berbentuk dan berukuran sama begitu pula tulisan-tuliasan khot yang tertera didalamnya. Bentuk yang segi tiga tersebut mempunyai ukuran panjang 175 cm dan tinggi 90 cm yang membentuk sudut 90 derajat. ukuran sisi miring bagian bawah adalah sepanjang 195 cm.
                Pada lembaran Panji-panji ini penuh berisi tulisan-tulisan Arab dalam bentuk khot yang tertulis cukup indah, suatu hasil kreativitas yang berbaur antara huruf Arab dengan unsur seni yang bervariasi.
                Namun karena telah melampaui usia yang sangat lama maka tulisan-tulisan khot itu sudah banyak yang sukar dibaca. Diantara yang masih dapat dibaca ialah tulisan-tulisan dalam bentuk gambaran dan ornamen sebagai berikut:
         1.                        khot
      
        Huallahu laa ilaaha huwar rahmaanur rahiim.

        Tulisan ini tersusun dalam urnamen yang dilingkari semacam lembaran daun yang masih dapat dilihat dan terdapat sebanyak 6 tulisan pada selembar panji-panji.
2.                        khot
 
                Laa ilaa ha illallah, Muhammadur rasulullah.

        Tulisan ini terdapat pada seluruh pinggiran lembaran panji-panji dan juga lembaran bagian dalam. Kalimat ini berjumlah 7 tulisan pada selembar Panji-panji. Tinggi huruf sekitar 6,5 cm.
3.
                           khot
    
        Salamun qaulam mirrabbir rahiim.

        Ayat ini merupakan tulisan yang paling kecil hurufnya hanya setinggi 1 cm.   
4.
                           khot
        Muhammad
        Tulisan “Muhammad” terjalin dalam ornamen berbentuk segi tiga sama kaki yang terdapat sebanayk 6 buah tulisan pada selembar panji-panji tersebut. 
5.        Tulisan wafak yang terdiri dari 5 baris dalam 7 kolom dimana pada setiap kotak-kotak kolom tertera angka-angkaarab sebagai berikut:











































                Disamping tulisan seperti disebutkan diatas masih terdapat lagi beberapa tulisan yang sukar dibaca karena sudah terlampau kabur.


IV. CERITA YANG BEREDAR DIMASYARAKAT

                Adanya Panji-panji ini melahirkan suatu cerita yang beredar secara luas dalam kalangan masyarakat, tidak saja dalam lingkungan masyarakat kampung Jatuh sendiri tetapi juga cukup tenar bagi masyarakat dalam daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
                Sejak mana kebenaran cerita tentang Panji-panji ini juga belum dapat ditentukan secara pasti, disebabkan karena ceritanya yang tidak berkesinambungan secara nyata dan terperinci yakni dalam versi yang terputus-putus, tetapi juga terselubung dengan unsur-unsur yang kadang-kadang bersifat legendaris dan fantastis.
                Menurut cerita yang dituturkan oleh sementara orang-orang tua di kampung Jatuh bahwa dua lembar Panji-panji ini dibawa oleh seorang Haji, yang bernama Haji Said yang pulang kedaerah Banjar setelah menunaikan ibadah Haji ditanah suci Mekah sebagai  pelaksanaan dari rukun Islam yang kelima. Dia pulang membawa dua lembar Panji-panji sebagai barang amanat yang harus disampaikan. Disamping dua lembar Panji-panji ini juga telah dibawa sebuah kitab suci Al-Qur’an sebagai hadiah dari warga Raja Arab Saudi dalam rangka menyebar luaskan Da’wah Islamiyah.
                Keberangkatannya menuju pulang ketanah Jawi (Indonesia) adalah menumpang kapal laut yang memakan waktu beberapa bulan. Tetapi malang ketika kapal sudah mendekati tanah Jawi tiba-tiba datang angin topan yang memecah dan menenggelamkan kapal tersebut. Semua penumpang yang terdiri dari jemaah Haji  tersebut tenggelam dan ternyata masih beruntung ada beberapa orang yang terdampar dengan selamat dipantai, diantaranya seorang jemaah Haji yang berasal dari daerah Banjar yang bernama Haji Said tersebut.
                Oleh karena dia membawa amanat penting tentang Panji-panji dan Al-Qur’an untuk dibawa, maka kedua benda inilah yang seadanya mungkin dibawa ketika dalam mengalami musibah tenggelam kapal tersebut.
                Kedua lembar Panji-panji dan sebuah Al-Qur’an tersebut dibawa menuruti jalan-jalan pantai yang tidak berpenghuni manusia tersebut.
                Ketika beberapa lama mengedari daerah pantai tersebut diketemukannya sebatang pohon besar yang sama sekali tidak mempunyai daun. Haji Said berfikir bahwa dari atas pohon yang tinggi ini mungkin dapat dilihat dari arah sana adanya perkampungan orang. Dengan berfikir demikian dipanjatnyalah pohon besar dan tinggi tersebut hingga sampai kepuncaknya.
                Namun harapannya itu juga sia-sia, karena apa yang dapat dilihat dari jarak tinggi dan jauh tersebut tidak lain hanya hutan belantara semata-mata. Harapannya untuk menemukan perkampungan orang menjadi semakin jauh.
                Hari semakin senja dan dia masih tetap berada diatas puncak pohon besar tersebut. Tetapi tak terduga olehnya bahwa sebentar lagi datang kesana seekor burung garuda yang besar. Rupanya pohon tersebut adalah tempat kediaman burung garuda.
                Disamping adanya rasa takut terhadap burung garuda yang buas itu Haji Said juga berfikir barang kali dengan melalui burung buas ini ia dapat bebas dari pohon tinggi tersebut dan dapat menemukan perkampungan orang. Akhirnya setelah berfikir cukup lama, dia memutuskan untuk memberanikan diri memperalat burung garuda tersebut.
                Pada waktu tengah malam ketika burung garuda tersebut sedang tidur nyenyak,dikaitkannyalah badannya ke kaki burung garuda yang besar tersebut dengan satu-satunya serban yang dipakainya, yaitu serban salami yang berwarna kekuning-kuningan.
                Keesokan harinya burung garuda itu terbang meninggalkan pohon. Haji Said yang telah nekat berada dikaki burung garuda tersebut ikut terbang tinggi diudara, sambil memegang satu-satunya benda Panji-panji dan Al-Qur’an.
                Setelah beberapa lama terbang diudara akhirnya burung garuda itu terbang merendah dan dari atas tampak beratus ekor kerbau sedang asyik makan rumput dilapangan hijau ditepi sungai.
                Rupanya burung garuda itu mencari makan dan sedang mengintai salah seekor kerbau untuk dijadikan mangsa.
                Haji Said berfikir bahwa pada kesempatan inilah dia akan turun ketanah. Pastilah disitu ada perkampungan orang, sebab kerbau-kerbau itu tentulah ada yang memeliharanya.
                Pada saat burung garuda itu turun ketanah dan menyambar seekor kerbau maka Haji Said secepatnya melepaskan diri dari ikatan badannya pada kaki burung garuda tersebut.
                Setelah berada ditanah, diapun berjalan sambil membawa Panji-panji dan Al-Qur’an untuk mencari perkampungan orang.
                Kemudian dia ingat bahwa Panji-panji dan Al-Qur’an yang sedang dibawanya tersebut harus disampaikan pada suatu tempat yang ditentukan akan syarat-syaratnya.
                Dalam menyampaikan barang berupa amanat ini terdapat syarat-syarat yang harus diperhatikan yaitu:
1.        Letakkan kedua Panji-panji dan Al-Qur’an ini diatas tanah tinggi pada halaman sebuah mesjid, atau disitu harus ada tanda-tanda akan dibangun sebuah mesjid.
2.        bangunan mesjid itu berada pada persimpangan sungai yang bercabang tiga.
3.        disamping mesjid tersebut ada terdapat sebuah sumur.
4.        sungai yang bercabang tiga tersebut arus airnya masing-masing menuju kekiri dan kekanan.

Ketika beberapa lamanya berjalan akhirnya diketemukannya perkampungan orang. Tetapi dia merasa heran karena diperkampungan tersebut semua penduduk terdiri dari wanita seluruhnya. Tidak seorangpun terdapat pria dikampung tersebut. Kedatangannya dikampung itu justru mendapat perhatian semua penduduk wanita disana.
Setelah diperhatikannya kampung tersebut terdapatlah tanda-tanda tempat seperti apa yang telah dipesankan didalam amanat untuk menyampaikan Panji-panji dan Al-Qur’an tersebut.
Ada bangunan mesjid yang sederhana berada pada persimpangan sungai. Didepannya terdapat tanah yang agak tinggi.
Dengan tidak ragu-ragu lagi diletakkannya kedua lembar Panji-panji dan Al-Qur’an pada tanah tinggi dihalaman mesjid tersebut, sebab menurutnya tempat itu telah sesuai sekali dengan pesan dan amanat.
Setelah Panji-panji dan Al-Qur’an tersebut diletakkannya disana, dia perhatikan sungai didepannya yang juga menurutnya sangat aneh yaitu sungai yang becabang dua tersebut, aliran cabang yang satu airnya jernih sedang aliran cabang yang kedua airnya keruh.
Kerena tertarik dengan warna airnya yang keruh itu, dicelupkannyalah telunjuknya kepermukaan air tersebut. Dan betapa terkejutnya setelah dianggkatnya keatas tulunjuknya tiba-tiba sekejap lalu menjadi batu.
Setelah beberapa lama terkejut, heran dan bercampur sedih, akhirnya dia insyaf  bahwa hal itu tentulah sudah kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Lebih baik dari pada badanku menjadi batu seluruhnya. Tentulah kejadian ini ada hikmahnya, demikian pikir Haji Said.
Atas kejadian itu dia kemudian memberi gelar dirinya Haji Batu, dan telunjuknya yang menjadi batu tersebut benar-benar ada hikmahnya. Sebab dengan telunjuk batu itu dia kemudian menjadi tabib yang dapat menyembuhkan penyakit.
Adapun kampung itu bernama Banua Budi dan wanita-wanita penduduk kampung tersebut semuanya menderita penyakit yang sulit disembuhkan. Apabila ada seorang pria yang kawin dengan wanita tersebut, akhirnya semuanya meninggal dunia disebabkan panyakit isterinya. Itulah sebabnya pada akhirnya habislah seluruh pria dikampung Banua Budi tersebut.
Atas kejadian yang menyedihkan ini Haji Batu menjadi terpanggil hatinya untuk berusaha menyembuhkan penyakit wanita-wanita malang yang menyeluruh itu. Sebab pikirnya apabila keadan ini terus-menerus, kampung Banua Budi itu akan rusak dan mesjid itu pasti tidak akan ada yang membinanya.
Dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, Haji Batu akhirnya dapat menyembuhkan penyakit wanita-wanita itu berkat khasiat telunjuk batunya. Dan wanita-wanita kampung Banua Budi itu dapat kawin lagi tanpa menyebabkan kematian suaminya.
Kampung Banua Budi tersebut berangsur-angsur menjadi ramai karena adanya perkawinan dan anak-beranak.
Oleh karena Panji-panji dan Al-Qur’an tersebut menjadi pilihan di ”jatuh” kannya ditempat itu, maka kampung Banua Budi tersebut kemudian diubah dengan nama baru, yaitu kampung “Jatuh” nama kampung yang sampai sekarang tetap dipakai.
Demikianlah menurut cerita yang beredar dan menjadi kepercayaan sementara penduduk didaerah ini mengenai asal mula diketemukannya Panji-panji dan Al-Qur’an tersebut.
Namun demikian khususnya tentang Panji-panji itu masih ada lagi cerita yang lebih cenderung kepada motif legendaris yang menceritakan bahwa Panji-panji tersebut “jatuh” dari  langit. Kejadian itu pada suatu malam ke 21 bulan puasa (Banjar : malam salikur) yaitu bulan Ramadhan.  Jatuhnya Panji-panji tersebut memang tepat pada bagian tanah tinggi dihalaman mesjid yang berada pada simpang tiga sungai.
Dengan jatuhnya ditempat itu pulalah yang menyebabkan kampung itu diberi nama kampung “Jatuh”.
Sementara itu dari sumber lain menceritakan bahwa Panji-panji dan Al-Qur’an  tersebut dibawa oleh seorang penyebar agama Islam yang bernama Said Muhammad Yusuf berasal dari Martapura, salah seorang penasehat agama Kerajaan Banjar yang berkedudukan di Kayu Tangi.
Beliaulah yang meletakkan Panji-panji dan Al-Quran tersebut pada mesjid yang berada dikampung Banua Budi dan kemudain kampungnya berubah nama dengan Kampung  “ Jatuh ”.
Tanah tinggi tempat jatuhnya Panji-panji tersebut merupakan tanah tinggi halaman mesjid yang sampai sekarang memang menjadi semacam kepercayaan pula oleh sementera masyarakat setempat. Dikatakan bahwa tanah tempat berdirinya bangunan mesjid tersebut tampaknya seakan-akan semakin tinggi.


V. MESJID AL A’LA
               
                Mesjid yang berdiri pada simpang tiga sungai dikampung Jatuh telah merupakan mesjid yang sangat tertua, diperkirakan didirikan pada pertengahan abad ke 17. tempat ibadah ini bernama mesjid Al A’la (Bahasa Arab : A’la = tinggi), suatu nama yang disesuaikan pula menurut kepercayaan penduduk tentang tingginya halaman mesjid tersebut.  Sedangkan sungai yang bercabang dau tersebut bernama Batang Banyu Jatuh yang mengalir menuju Hilir Banua dan cabangnya barnama sungai Ringsang menuju kampung Pamatang. Cabang sungai ini sudah mati dan ditumbuhi pohon rumbia.
                Antara Panji-panji dan Al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai historis dengan mesjid Al-A’la ini tampaknya seakan-akan ada kaitannya satu sama lain. Berdasarkan cerita setempat seperti yang diuraikan ini memanglah hal itu demikian.
                Suatu sumber yang memberikan catatan tentang pembinaan mesjid Al-A’la ini mengatakan bahwa orang yang masih dikenal sebagai pembina utama ialah Penghulu Muda Yuda Lelana pada awal abad ke 19 . Baliau adalah pimpinan agama didaerah ini.
                Disamping itu beliau juga dikenal sebagai pimpinan Pasukan Baratib yang mengadakan perlawanan bersenjata terhadap penjajah Belanda. Pasukan Baratib maksudnya adalah pasukan rakyat yang selalu berzikir menyebut nama Allah, lebih-lebih pada saat bertempur.
                Sebuah pertempuran yang sengit terjadi di anak kampung Pinangin yang berhasil menewaskan beberapa serdadu belanda termasuk diantaranya pimpinan pasukan kapiten Van der Heide.
                Pada saat itu mesjid Al-A’la berfungsi sebagai markas pasukan Baratib guna mengatur siasat pertempuran.
                Panji-panji peninggalan kuno yang bertulisan zikir tersebut telah turut memberi semangat kepatriotan rakyat melawan tentara penjajah belanda, karena Panji-panji inilah yang dipakai sebagai bendera Pasukan Baratib tersebut. Sedangkan kampung Pamatang disebelah timur nya pada waktu dulu dikenal dengan nama kampung Pematang Paunduran, suatu benteng pertahanan terakhir ketika rakyat disitu mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pematang Paunduran merupakan istilah Bahasa Daerah Banjar yang berarti “Dataran tempat untuk mundur” yaitu daerah untuk bertahan.
                Tanah tempat berdirinya Mesjid Al-A’la ini adalah tanah wakaf yang berasal dari turunan keatas dari Penghulu Muda Yuda Lelana. Setelah meninggalnya Yuda Lelana mesjid tersebut diteruskan pembinaannya oleh kedua putra beliau, yaitu Haji Abdurrahman dan Abu Hamid (Buamid).
                Sekitar tahun 1290 Hijriah (+ 1874 Masehi) mesjid Al-A’la dilakukan rehabilitasi tahap ke 2 mendapat  perluasan dengan ukuran 13x13 meter yang dipimpin oleh Haji Muhammad Yusuf bin Haji Abdurrahman.
                Pembinaan mesjid ini semakin berkembang lagi baik luasnya maupun bentuk konstruksinya yang diprakarsai lebih lanjut oleh putera-putera H. Muhammad Yusuf yaitu Haji Dahlan, Haji Hasan Baseri, Haji Syibeli, Haji Muhammad Arsyad. Haji Muhammad As’ad dan Haji Muhammad Rafei. Rehabilitasi  tahap ke 3 ini dilakukan pada tahun 1953 Masehi.
                Suatu anggapan masyarakat yang telah berkembang lama dan luas menyatakan mesjid Al-A’la tersebut merupakan mesjid tertua yang mempunyai nilai-nilai historis dan dalam pembangunan asal mulanya. Sehingga sampai kini mesjid Al-A’la itu selalu dikunjungi oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu dari luar daerah.
Memang apabila kita perhatikan uraian diatas serta bentuk bangunan mesjid Al-A’la ini mengandung nilai-nilai historis dan nilai-nilai kekunoan yang dapat dibandingkan dengan mesjid-mesjid kuno lainya seperti diluar daerah.
                Ciri-ciri kekonoan tersebut antara lain dapat dilihat pada mesjid Al-A’la ialah:
1.        konstruksi atap dalam bentuk atap tumpang yang mengecil keatas dan puncaknya terpasang semacam mustika (Banjar : sungkul).
2.        sekeliling bangunan bagian bawah terdapat ruang terbuka berupa serambi yang kadang-kadang dimanfaatkan dalam fungsi-fungsi tertentu.
3.        guna keperluan muazzin (bilal) menyampaikan azan dibikinkan suatu tempat pada puncak bagian tengah dalam mesjid yang dinaiki melalui tangga kecil yang khusus dibuat untuk itu.

Adapun kunjungan–kunjungan kelompok-kelompok masyarakat tertentu kemesjid ini biasanya berlangsung pada hari pertama, kedua atau ketiga hari besar Aidil Fitri dan Aidil Adha.
Mereka tidak sekedar untuk berkunjung untuk melihat mesjid Al-A’la tersebut tetapi juga melaksanakan sembahyang sunat atau sembahyang fardhu jika kebetulan waktunya (sholat zhuhur dan asyar). Dan sebagai acara cukup penting dalam kunjungan mereka adalah mengadakan acara selamatan dengan membawa sejumlah kue khas Banjar  seperti apam putih, apam habang, cucur putih, cucur habang dan ketupat.
Penjaga mesjid (Banjar : kaum) sebagai petugas mesjid Al-A’la yang biasanya cukup bermurah hati, biasanya melayani kedatangan rombongan pengunjung dengan baik.
Pengunjung yang biasanya dalam jumlah kelompok besar mengikut sertakan anak isteri dan famili mereka.
Dalam pengalaman-pengalaman selama adanya kunjungan masyarakat luar daerah kemesjid Al-A’la ini terdapat hal-hal yang tampak cukup unik.
Bayi atau anak mereka sebelumnya dicucikan mukanya dengan air yang ada di kolam mesjid dan kemudian bayi atau anak mereka yang putra di jajakan kakinya ke anak anak tangga mimbar mesjid yang berada pada bagian mihrab.
Dengan demikian mereka sambil berdo’a dalam hati mengharap semoga anak mereka itu nanti menjadi seorang anak yang tidak jauh sikap dan kepribadiannya dari tata kehidupan dalam lingkungan mesjid.
Khususnya bagi seorang putera mereka menginginkan untuk kemudian nantinya menjadi seorang ulama yang pada suatu saat nanti menjejak anak tangga mimbar untuk berkhotbah menjadi khatib.
Doa atau keinginan orang tua untuk anak-anak mereka seperti ini memang pantas dipujikan sepanjang tidak tergeser dari kaidah-kaidah agama Islam dalam melaksanakan antara niat dan perbuatan.
Apabila mereka telah melaksanakan acara selamatan ( Banjar : batumbang ) di mesjid Al-A’la itu biasanya rombongan tersebut berkunjung kerumah zuriat almarhum Haji Muhammad Yusuf yang berjarak lebih kurang 50 m guna menyaksikan Panji-panji, benda peninggalan kono tersebut.

VI. PEMILIK PANJI-PANJI

                Sampai sekarang Panji-panji ini disimpan disimpan dirumah zuriat Haji Muhammad Yusuf sebagai pemelihara yang merupakan warisan leluhur dan dimiliki secara turun-temurun. Memang tidak tercatat dengan jelas sejak kapan Panji-panji itu dimiliki oleh keluarga ini,tetapi benda warisan kuno ini demikian lama dipelihara.

           Menurut silsilah, almarhum Haji Muhammad Yusuf adalah putera dari Haji Abdurrahman yang bersaudara dengan Abu Hamid (Buamid). Sedangkan orang tertua dari Haji Abdurrahman bernama Yuda Lelana ( red: Abu Sulaiman ) seorang Penghulu Muda dan Pemimpin Pasukan Baratib yang berperang melawan tentara Belanda. Mungkin nama Yuda Lelana adalah nama samaran seperti kebanyakan nama-nama pejuang gerilya guna menyamarkan diri.

Pada masa revolusi fisik dalam rangka mempertahankan kemerdekaan RI. Sekitar tahun 1945 selama beberapa tahun Panji-panji tersebut disimpan sangat rahasia oleh  zuriat Haji Muhammad Yusuf karena dikhawatirkan akan diambil oleh tentara Belanda.

Sedangkan sebuah Al-Qur’an yang dibawa bersama Panji-panji tersebut menurut sepengetahuan masyarakat didaerah ini berada dikampung Kalaka yang berjarak lebih kurang 6 Km dari kampung Jatuh. Al-Qur’an tersebut ditulis dengan tulisan tangan diatas kertas warna putih dengan tulisan tinta (dawat) berwarna hitam.
Terpisahnya pemeliharaan antara Panji-panji dengan Al-Qur’an tersebut tidak diketahui bagaimana terjadinya karena hal itu sudah berlangsung lama sekali.

VII. PEMELIHARAAN PANJI-PANJI

                Panji-panji sebagai benda peninggalan kono yang diperkirakan telah berumur 300 tahun itu merupakan suatu benda yang mengandung nilai budaya, perlu dipelihara dengan baik sehingga secara fisik tetap dalam keadaan aman. Dalam hubungannya dengan kewajiban untuk memelihara Panji-panji ini maka hal itu sesuai dengan isi perundang-undangan lama dijaman Pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Indonesia yang hingga kini masih tetap berlaku, yaitu produk perundangan yang dikenal dengan nama Monumenten Ordonantie Tanggal 30 Juni 1931 yang termuat dalam Staatsblad (lembaran negara) Nomor 238 tahun 1931.
                Berdasarkan pasal 1 ayat 1 sub a monumenten ordonnantie ini jelaslah bahwa panji panji tersebut diatas dapat dikatagorikan sebagai suatu benda yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah atau suatu kesenian mengingat usianya sudah melebihi lebih 50 tahun. Dalam arti yang luas panji – panji ini juga merupakan suatu aspek monumen yang menjadi benda museum purbakala.
                Lengkapnya bunyi pasal 1 ordonnantie tersebut ialah sebagai  berikut :
1.                    Yang dianggap sebagai monumen dalam peraturan ini :
a.        Benda – benda bergerak maupun taak bergerak yang dibuat oleh tangan manusia, bagian atau kelompok benda – benda dan juga sisa –sisanya  yang pokoknya berumur 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi pra sejarah, sejarah dan kesenian.
b.        Benda – benda yang diatas dianggap mmpunyai nilai penting dipandang dari sudut palaeontropologi.
c.        Situs yang mempunyai petunjuk yang kuat dasarnya bahwa didalamnya terdaapat benda – benda yang dimaksud pada  a. dan b. Segala sesuatu bilamana benda–benda tersebut baik tetap ataupun sementara, telah dicantumkan dalam daftar, disebut daftar monumen umum pusat yang disusun dan dikelola atas usaha kepala dinas purbakala.
2.                    Benda-benda bergerak atau tidak bergerak yang menurut tujuan semula atau tujuan masa kini termasuk kelompok-kelompok benda-benda tersebut dalam 1-a dan situs tanamannya, bengunannya atau keadaan pada umumnya memiliki atau dapat memiliki kepentingan langsung bagi benda-benda dibawah 1-a, dipersamakan dan didaftarkan bersamaan dengan benda-benda dibawah 1-a.
Terhadap pemilik Panji-panji yang sekarang tersimpan dirumah keluarga zuriat Haji Muhammad Yusuf , kampung Jatuh, Kecamatan Pandawan kabupaten Hulu Sungai Tengah, berlaku suatu kewajiban pemeliharaan seperti tersebut pada pasal 5 ayat 1 Monumenten Ordonantie tersebut yang berbunyi:
“Pemilik atau yang berhak mengusai sebuah monumen berkewajiban memeliharanya dalam keadaan baik”.
Sehubungan dengan pemeliharaan Panji-panji ini pula disini dicatat pasal-pasal dalam Monomenten Ordonnantie tahun 1931 itu yang sedikit banyaknya bermanfaat bagi kelangsungan kewajiban pemeliharaan Panji-panji itu.
Pasal-pasal itu ialah :
Pasal 6 ayat 2 :
Tanpa izin Kepala Dinas purbakala dilarang memperbaiki sebuah monumen, menghancurkannya, merubah wujudnya, bentuk atau penggunaanya, mengambil benda-benda yang tidak bergerak dari sebuah monumen atau memindahkan kelain tempat benda-benda bergerak milik monumen ataupun bagian dari monumen.
Pasal 7 ayat 1 :
Dalam hal pemindah tanganan sebuah monumen maka pemilik atau yang berhak wajib memberitahukan tentang pemindah tanganan itu sedikit-dikitnya 14 hari sebelumnya kepada Kepala Dinas Purbakala.
Pasal 7 ayat 2 :
Barangsiapa kehilangan atau memperoleh sebuah monumen wajib memberitahukan dalam waktu yang ditetapkan dalam Ayat 1 (pasal 7), kepada Kepala Dinas Purbakala dengan atau perantaraan pejabat Pamong Praja ; dalam hal kehilangan perlu diterangkan keadaan terjadi kehilangan tersebut.

Pasal 12 ayat 1 :

Pelanggaran-pelanggaran dari ketentuan-ketentuan dibawah ini pasal 6 ayat 1 atau 2 dan pasal 9, tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dengan pasal 7 ayat 1 atau 2 atau pasal ayat 1 maupun tidak dipenuhinya syarat-syarat yang dianjurkan dibawah pasal 6 ayat 3 dan pasal 9, dihukum dengan tahanan sebanyak-banyaknya tiga bulan atau denda uang setinggi-tingginya 50 gulden.
Sebagai tindak lanjut dari pada monumenten Ordonnantie tahun 1931 yang masih berlaku tersebut oleh Pemerintah dikeluarkan beberapa produk penetapan lainnya yang merupakan peraturan pelaksanaan berupa instruksi dan Surat Keputusan. Peraturan itu antara lain adalah Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor : 65/1/7, tanggal 5 Februari 1960 tentang Pelanggaran-pelanggaran terhadap Monumenten Ordonnantie S. No. 238tahun 1931 ; Surat Keputusan bersama Menteri perdagangan, menteri keuangan dan Gubernur Bank Sentral, nomor :27 A/Kbp/II/1970, nomor : Kep-62/MK/III/2/1970, nomor : Kep.3CBI/1970, tanggal 23 Maret 1970, tentang pembawaan/pengiriman Barang-barang Keluar Daerah Pabean Indonesia : Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor : 8/M/1972 tanggal 15 Agustus 1972 tentang Pengamanan Benda-banda Purbakala, Instruksi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, nomor : Ins-002/Kopkan/I/1973 tanggal 8 Januari 1973 tetang Pengamanan Cagar Nasional Indonesia.


VIII. PENUTUP

                Dengan melihat beberapa kutipan pasal-pasal yang tercantum dalam Monumenten Ordonnantie tahun 1931 tadi dapatlah kita pahami bahwa benda-benda peninggalan lama yang merupakan aspek monumen tersebut adalah suatu kazanah budaya yang wajib dipelihara. Bahkan untuk menjamin kepastian pengamanan terhadapnya Pemerintah memberikan sangsi-sangsi pelanggar-pelanggarnya.
                Kesadaran akan kewajiban ini tidak saja berlaku terhadap pemilik atau yang berhak mengusai, tetapi juga kepada semua pihak.
                Panji-panji sebagaimana dibicarakan dalam uraian ini merupakan warisan leluhur, suatu peninggalan kono yang memiliki nilai historis, nilai kultural dan nilai Da’wah Islamiyah adalah perlu kita pelihara keamanannya.

                Betapapun keadaanya pada dewasa ini, namun Panji-panji itu tak dapat dinilai harganya. Panji-panji yang isinya bernilai Da’wah Islamiyah itu merupakan benda museum yang harus dilindungi dalam rangkaian perlindungan cagar budaya nasional Indonesia.

CATATAN : Panji panji tersebut, kini dipelihara oleh Saudara Jakfar Sadiq No Telepon. 0852 4891 7623 cucu dari Haji Dahlan, anak tertua dari Haji Muhammad Yusuf Bin Haji Abdurrahman…








SILSILAH KETURUNAN H.MUHAMMAD YUSUF BIN H.ABDURRAHMAN


Rabu, 16 Januari 2013

HISTORISTIK BERDIRINYA MAJELIS TA’LIM “AINUR RIDHA” DESA KAMBAT UTARA KECAMATAN PANDAWAN KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN


Majelis Ta’lim “AINUR RIDHA” ini adalah merupakan salah satu majelis yang sangat tua, yang dulunya terletak di Desa Jatuh dan sekarang berubah tempat ke Desa Kambat Utara Kecamatan Pandawan Kabupaten Hulu Sungai Tengah Barabai. Diperkirakan berdirinya Majelis Ta’lim ini didirikan pada pertengahan Abad ke 17, Majelis Ta’lim ini diberi nama “AINUR RIDHA”
                Menurut data yang tercatat, tanah atau tempat berdirinya Majelis Ta’lim “AINUR RIDHA” dan masjid Jatuh Al – A’La ini adalah tanah yang diwakafkan oleh Penghulu Muda Yudha Lelana, dan beliaulah orang yang pertama kali dalam membina Majelis Ta’lim dan Masjid Al – A’La, beliau juga dikenal sebagai pimpinan pasukan Baratib ( Baratib maksudnya adalah pasukan rakyat yang selalu berdzikir menyebut nama ALLAH, bersiasat pada saat bertempur ) yang mengadakan perlawanan bersenjata terhadap penjajah di zaman kolonial Belanda, pada sat itu Majelis Ta’lim dan Masjid Al – A’La berfungsi sebagai markas Pasukan Baratib guna mengatur siasat pertempuran melawan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapiten Van der Heide.
                Setelah beliau meninggal dunia (Abad Ke 19) pembinaan Majelis Ta’lim ini diteruskan oleh kedua putera beliau, yaitu H.Abdurrahman dan Abu Hamid (Buamid), Kemudian sekitar tahun 1290 H ( ±1874 M ) majelis ini menyebar luas keberbagai pelosok yang dipimpin oleh H.Muhammad Yusuf (meninggal ±1900) beliau ini mendapatizin dari Riseden Pemerintah Belanda untuk menyebarkan / menyiarkan agama Islam di benua kita ini. Izin pembinaan majelis ini semakin berkembang lagi setelah beliau meninggal tahun 1935 M / 1354 H dan kemudian diprakarsai lebih lanjut oleh putera – putera beliau seperti H.Dahlan, H.Hasan Baseri ( meninggal dunia pada awal Nopember tahun 1965 M, kemudian diteruskan lagi oleh anak – anak beliau H.Afandi Hasan (meninggal pada hari Jum’at tanggal 22 Maret 1991) dan diteruskan sampai sekarang oleh anak beliau yaitu M.Rafi Afandi yang juga keluarga besar dari H.Muhammad Yusuf dibantu oleh masyarakat sekitar Desa Kambat Utara dan Desa Jatuh.              

Suatu anggapan masyarakat yang telah berkembang lama dan luas menyatakan Majelis Ta’lim ini merupakan majelis yang mempunyai nilai nilai historis dan leluhur dalam membangun serta mengembangkan agama Islam di daerah ini, ditambah lagi dengan masih tersimpannya beberapa peninggalan kuno berupa dua lembar panji – panji ( dua lembar bendera/kain berwarna kuning yang berbentuk segitiga dengan ukuran panjang 175 cm dan tinggi 90 cm yang membentuk sudut 90 derajat), dan sebuah Al – Qur’an yang ditulis dengan tulisan tangan diperkirakan berumur 300 tahun lebih menurut salah seorang arkeolog, dan sampai sekarang kedua peninggalan tersebut masih tersimpan dengan baik di Desa Jatuh di rumah Sdra.Jakfar Saddiq.